Minggu, 27 April 2014

ayat dan hadits jualbeli



I.            LATAR BELAKANG
Rasulullah merupakan contoh tauladan bagi kita sebagai umat islam. Semua ucapan, sikap dan perbuatan Rasul mengajarkan kita tentang ajaran islam sekaligus contoh bagi kita untuk bertindak ataupun bersikap. Ajaran islam tersebut memerintahkan untuk menjalin hubungan baik secara vertikal maupun  horizontal, yakni hablu min Allah wa hablu min al-nas. Rasul selalu mengajarkan kita untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Manusia masih memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kehidupannya. Satu sama lain saling membantu. Oleh karena itu, kita diperintah untuk berbuat baik antar sesama, selain menjalin hubungan dengan Allah. Rasul pun telah menjelaskan mengenai aturan-aturan ataupun etika dalam hidup bermasyarakat.Salah satunya aturan mengenai jual-beli.
Jual-beli merupakan salah satu kegiatan muamalah yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.Dalam masalah jual-beli ini, Rasulullah pun telah menjelaskan mengenai etika berdagang, menunjukkan mengenai mana jual-beli yang diperbolehkan dan mana jual-beli yang tidak diperbolehkan. Sehingga antara penjual ataupun pembeli tidak ada yang dirugikan.Karena unsur yang terpenting dalam jual-beli adalah kerelaan antara kedua belah pihak, yaitu salah satu pihak tidak ada yang rugi. Sehingga perlu kita mengetahui bagaimana etika dalam jual-beli yang sebenarnya.
II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Macam-macam jual beli yang dilarang dan yang sah
B.     Asas-asas jual beli
C.     Etika jual beli
D.    Akad transaksi dalam etika jual beli
E.     Hadits tentang larangan jual beli Mulamasah, Mudhabanah dan Muhakolah
F.      Jual beli ijon
G.    Jual beli wafa'
H.    Jual beli ghoror

III.            PEMBAHASAN
A.    Macam-Macam Jual Beli yang Dilarang dan yang Sah

“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah sebagian dari kamu memakan (mengambil) harta milik sebagian di antaramu dengan cara yang tidak benar (batil), kecuali jika dengan jalan perniagaan yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak diantara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Kekal rahmat-Nya.”( An-Nisa' : 29 )
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح), sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 
”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dan hadist  Nabi yang berasal dari Ruf’ah bin Rafi’ menurut riwayat al-Bazar yang disahkan oleh al-Hakim:
أن النبى صلى الله عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang dengan  tangannya dan jual beli yang mabrur”.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :
1.      Jual beli salam (pesanan)
Yaitu jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2.      Jual beli Muqayyadah (barter)
Yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.
3.      Jual beli Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat penukaran.
4.      Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Yaitu jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.[1]

"Orang-orang yang makan (bertransaksi dengan) riba, tidak dapat berdiri malainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkn karena mereka berkata 'jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari tuhannya (menyangkut riba), lalu berhenti (dari praktik riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (kembali) kepada allah. Adapun yang kembali (bertransaksi riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya"(Q.S. Al-Baqarah : 275)
Dalam ayat ini tidak hanya melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka. Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi dengan riba, baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdrinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya).
Tidak menutup kemungkinan mamahaminya sekarang dalam kehidupan dunia.Mereka yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi lihat juga kehidupan masyarakat, lebih-lebih yang mempraktikkan riba. Di sana mereka hidup dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan aktivitas yang tidak rasional mereka lakukan.
Bagaimana dengan perumpamaan yang dilukiskan sebagai sentuhan setan terhadap mereka ?Ada dua ulama yang memahami ayat ini sebagai berbicara tentang manusia yang kesurupan sambil menguatkan pandangannya dengan berbagai ayat dan hadits yang intinnya menyatakan bahwa ada setan yang selalu mendampingi manusia.
Tidakkah Anda pernah melihat kata mereka seseorang yang menjadi demikian kuat berbicara dengan berbagai bahasa asing, tetapi dalam keadaan normalnya lemah dan tidak mengerti, kecuali bahasa ibunya ? Apakah yang menjadikan dia mampu kalau bukan jin yang telah merasuk kedalam tubuhnya ?
Ibn 'Abbas meriwayatkan bahwa seseorang wanita membawa anaknya kepada Rasulullah saw seraya berkata, "Sesungguhnya putraku menderita gangguan ( gila ) yang menimpanya setiap kami makan siang dan malam," maka Rasulullah saw mengusap dadanya, dan berdoa untuk kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlah sesuatu seperti anjing hitam. Dan sembuhlah ia" ( HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi)
Kalau air dan makanan dapat masuk kedalam tubuh manusia, sedang tingkat kehalusan jin, apa yang menghalangi jin masuk ? Bukankah angin pun dapat masuk ke tubuh manusia ?Demikian dalil atau dalih mereka yang memahami ayat dan hadits-hadits di atas dalam arti hakiki.[2]
Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak. Jumhur ulama tidak membedakan antara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurut Jumhur Ulama, hukum jual-beli terbagi menjadi dua, yaitu jual beli shahih dan jual beli fasid.
Jual beli yang diharamkan dalam islam adalah sebagai berikut :
1.      Menjual barang yang sudah dibeli oleh orang lain.
2.      Menjual minuman keras dan yang sejenisnya (narkoba).
3.      Menjual barang najis.
4.      Gharar, yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidak pastian/spekulasi dan penipuan. Diantaranya :
a.       Hashat, jual beli tanah yang tidak jelas luasnya
b.      Nitaj, jual beli hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil
c.       Mulamasah dan Munabadzah
d.      Muhaqolah dan Muzabanah
e.       Mukhadarah
f.       Habalil Habalah, jual beli anak unta yang masih dalam perut induknya
g.      Talqi Jabal, petani membawa hasil panen kekota, kemudian orang kota menjual dengan harga yang ditetapkan sendiri
h.      Hadir al-Ibad, monopoli dengan tujuan harga yang tinggi
i.        Najsy, menjual barang karena mendengar akan naik lalu dijual dengan harga yang tinggi ketika harga sudah naik.
j.        Ikhtikar, penimbunanbaranghanyauntukmenaikkanhargadengansengaja.[3]
5.      Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan
6.      Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul)
7.      Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual
8.      Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar[4]
9.      Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
10.  Menawar barang yang sedang ditawar orang lain
11.  Berjualan ketika adzan jumat dikumandangkan
12.  Berdagang alat-alat musik dan hiburan[5]

B.     Asas-Asas Jual Beli
Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan.
Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 3, halaman 246 dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan oleh Syara' (hukum islam), yaitu :
1.      Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi. Kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara' misalnya adalah memperdagangkan barang haram. Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati. (Dalam Q.S. Al-Ma'idah, 5: 1)

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya “.
2.      Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari hukum syara' dan adab sopan santun.
3.      Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. (Dalam Q.S. An-Nisa' 4: 29)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
4.      Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi denagn niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, shingga terhindar dari segala bentuk penipuan dan kecurangan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa:
Aku (Raslullah) melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R Muslim)
5.      'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara' boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya dalam akad sewa-menyewa rumah. Menurut kebiasaan setempat, kerusakan rumah sewaan merupakan tanggung jawab penyewa. Maka dari itu,pihak yang menyewakan boleh menuntut penyewa untuk memperbaiki rumah sewaannya. Tapi, pada saat transaksi atau terjadinya akad, kedua belah pihak telah sama-sama mengetahui kebiasaan tersebut dan menyepakatinya.[6]

C.    Etika Jual Beli

“jika mereka merusak (melanggar) perjanjian-perjanjian sesudah mereka buat serta mencela (menjelek-jelekkan) agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu. Sebenarnya mereka itu tidak ada harganya (nilainya). Semoga mereka berhenti dari kekafiran” (Q.S At-Taubah : 12)
Jika mereka merusak atau melanggar perjanjian (seperti perjanjian Hudaibiah), yang telah dibuatnya, mencela dan memperolok-olok agamamu, serta menghambat manusia mengikuti jalan Allah, maka mereka itu wajib diperangi, agar kembali insaf. Merekalah gembong-gembong kufur dan pemimpin-pemimpinnya.
Mereka memang telah mencacat Al-Quran dan memburuk-burukkan Nabi seperti apa yang telah dilakukan oleh ahli-ahli syair dari kelompoknya, sehingga karenanya mereka menjadi bingung. Perjanjian-perjanian yang mereka buat itu tidak ada harganya. Sebab perjanjian itu bersifat tipuan semata. Mereka tidak bermaksud menepatinya. Perangilah mereka dengan pengharapan supaya menghentikan kekafirannya, dan tidak lagi suka melanggar perjanjian, ini memberi pengertian bahwa memerangi mereka bukanlah atas dasar mengikuti hawa nafsu atau untuk mencari keuntungan dunia.[7]
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah.Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?!Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.”(HR. Muslim no. 102)
Dari Hakim bin Hizam radhiallahuanhu dari Nabi Shallallu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَ
“Kedua orang yang bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli. Tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan dihapus.”(HR. Al-Bukhari no. 1937 dan Muslim no. 1532)
Abu Hurairah radhiallahu‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu (memang biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa menghilangkan berkahnya”.(HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ
“Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan (keberkahannya).”(HR. Muslim no. 1607)
Salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak sekali sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berprofesi menjadi petani atau pedagang. Hanya saja, di dalam Islam setiap profesi yang dibenarkan untuk ditempuh tujuannya bukan semata-mata untuk menghasilkan uang atau meraih kekayaan. Akan tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari hasil jerih payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya akan tetapi dinilai dari kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan kemana dia belanjakan.
Karenanya, dalam perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa etika diantaranya:
1.      Tidak boleh curang dalam jual beli.
2.      Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli.
3.      Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang dia jual.
4.      Tidak boleh terlalu banyak bersumpah (walaupun sumpahnya benar) dengan tujuan melariskan dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah pada jual beli atau pada hal-hal sepele menunjukkan kurangnya pengagungan dia kepada Allah.
5.      Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk melariskan dagangannya.[8]
D.    Akad Transaksi dalam Etika Jual Beli

“Hai orang-orang yang beriman.Sempurnakanlah segala rupa akad yang telah kamu lakukan. Telah dihalalkan bagimu binatang-binatang berkaki empat (unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (akan deterangkan satu persatu) tentang keharamannya pada waktu kamu tidak hala berburu dan kamu dalam keadaan ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan apa yang dikehendaki”(Q.S Al-Maidah : 1)
Sempurnakanlah berbagai bentuk akad (janji, kontrak) yang telah kamu akadkan dengan Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu dengan sesama manusia. Baik berupa perintah maupun larangan syara’ atau akad diantara kamu, seperti jual beli dan pernikahan.
Dasar semua akad dalam islam adalah firman “aufu bil ‘uqudi” yang artinya sempurnakanlah semua rupa akad. Maka wajib bagi tiap mukmin menyempurnakan akad dan menepati janji, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.Yang penting, akad tidak berlawanan dengan kehendak syara’.[9]
Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam
Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.
Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah terjalin dengannya. Syari’at Islam pada prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad macam ini.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dll.
Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan mencari keuntungan non materi.
Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.
Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syari’at Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. Al-Baqarah: 276)
Pada ayat ini Allah Ta’ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini adalah isyarat bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ . وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنكُنتُمْ تَعْلَمُون
“Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 278-280)
Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”
Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan, peminjaman, shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll.
Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.
Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari pemiliknya.
لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه. رواه أحمد والدارقطني والبيهقي، وصححه الحافظ والألباني
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” (Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)
Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang dilakukan dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu’ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 14/176-177, fatwa no: 20244)
Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.
Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas.
Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.[10]
E.     Hadits Tentang Larangan jual beli Mulamasah, Mudzabanah, dan Muhakolah

و عن ابى سعيد قال : نهى رسول الله ص م عن الملامسة والمنابداة فى البيع و الملامسة لمس الرجل ثوب الاخر بيده باليل او بالنهار ولا يقلبه و المنابدة ان ينبد الرجل الى الرجل بثوبه وينبد الاخر بثوبه ويكون دلك بيعهما من غير فظر ولا تراض
Rasulullah melarang jual beli barang secara mulamasah dan munabazah. Mulamasah, pembeli hanya memegang kain (baik di siang maupun di malam hari) tanpa dibolak-balik terlebih dahulu. Munabazah, penjual melemparkan kain kepada pembeli, dan kemudian kembali dilempar kepada penjual. Penjualnya hanya didasarkan atas saling percaya”. (HR. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntqa II: 319).

“Rasulullahmelarangkitadarimuhaqalah (menjualbuah yang masihdalamtandannya), mukhasarah (menjualbuah-buahan yang belumdapatdimakan), munabazah, mulamasahdanmuzabanah (menjualbuah-buahandengankurmasecarasukatan)”

Hadits tersebut menunjukkan bahwa cara penjualan muhaqalah, mukhalash, munabazah, mulamasah dan mubazanah dilarang. Penjualan gharar (yang mengandung unsur tipuan), seperti menjual ikan yang masih dalam kolam, menjual burung yang masih berada di angkasa. Hal ini disepakati masuk kedalam bagian menjual barang yang belum ada, menjual sesuatu yang belum diketahui, menjual budak yang belum dilihat dan setiap penjualan  yang mungkin dapat menipu pembeli.[11]

F.     Jual Beli Ijon

عن ابى عمر ان النبى ص م نهى عن بيع التجارحتى يبدو صلاحها. نهى البائع والمبتاع
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan sebelum nyata baik (matang)nya. Larangan tersebut berlaku terhadap sipenjual dan sipembeli”. (HR. Al-Jamaah selain At-Turmudzy; Al-Muntaqa II:331)

و عن انس, ان النبى ص م نهى عن بيع الثمرة حتى تزهى. قالوا : وما تزهى ؟ قال "تحمر". وقال ادا منع الله الثمرة فبم تستحل مال اخيك ؟
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan (korma) sehingga berwarna merah. Para sahabat bertanya tentang arti izhak, maka Nabi menjawab “berwarna merah”. Dan Nabi bersabda pula :apabila Allah menimpakan bencana atas buah itu, maka dengan apa engkau menghalalkan harta saudaraengkau”. (HR. Al-Bukharydan Muslim; Al-Muntaqa II: 331)
Hadis tersebut menyatakan bahwa tidak boleh menjual buah-buahan sebelum nyata merahnya. Karena apabila kemudian ternyata buah-buahan tersebut gagal menjadi buah (busuk) tentulah akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli.
Dhahir hadis ini menyatakan bahwa menjual sesudah buahnya baik (matang) adalah sah. Baik disyaratkan buah itu tetap dibatangnya sampai dipetiknya ataupun tidak. Larangan menjual sesuatu dengan memakai syarat tidak dapat diterapkan disini. Bahkan hadits sendiri menandaskan bahwa yang demikian itu boleh, jika disyaratkan oleh pembeli maupun penjual. Mengenai memperjual-belikan tanaman yang sudah hijau, asal disyaratkan bahwa tanaman itu dipotong oleh pembeli dibolehkan. Ibnu Hazm membolehkannya tanpa syarat, karena larangan hanya mengenai biji-bijian seperti padi. Jelasnya,hadis ini melarang kita menjual biji seperti padi sebelum keras bijinya dan menjual tungkul berwarna putih.[12]

G.    Jual Beli Wafa'
1.      Pengertian Jual Beli Wafa’
Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.
Dalam jual beli ini terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatkan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa  izin si penjual. Jual beli ini juga mengandung hukum pegadaian.
2.      Hukum dari jual beli wafa’
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini.
Diantara ulama ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena ia dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
Diantara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku didalamnya.
Diantara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling mengembalikan.
Ada juga diantara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian. Namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena kebutuhan.
Yang benar, bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya.[13]

H.    Jual Beli Ghoror
Jualbeli ghoror adalah jual-beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rosulullah bersabda:
لا تشترو االسمك فى الماء فاءنه غرور
“ janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli sepertui itu termasuk gharar( menipu )” ( HR.Ahmad)
Menurut Ibn Jazi  Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam, yaitu :
1.      Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungannya.
2.      Tidak diketahui harga dan barang.
3.      Tidak diketahui sifat barang atau harganya.
4.      Tidak diketahui ukuran barang dan harganya.
5.      Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “saya jual kepadamu jika Zaed datang”.
6.      Menghargakan dua kali pada satu barang.
7.      Menjual barang yang diharapkan selamat.
8.      Jual-beli husha’, misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkatnya jatuh maka wajib membeli.
9.      Jual-beli munabadzanah, yaitu jual-beli dengan cara lempar-melempari, seperti seseorang melempar bajunya, maka jadilah jual-beli.
10.  Jual-beli mulamasah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya.[14]

IV.            KESIMPULAN
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح). Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :Jual beli salam (pesanan), Jual beli Muqayyadah (barter), Jual beli Muthlaq, Jual beli alat penukar dengan alat penukar. Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Jual beli wafak merupakan Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.


[1]Syafei, Rahmat. FIQIH MUAMALAH, Bandung: PustakaSetia, 2001, h.101
[2] Muhammad, Quraish shihab, Tafsir al-Misbah vol 1 , penerb,Lentera hati, Jakarta: 2002, h.715-717
[3]Ilfi, Nur Diana. HADIS-HADIS EKONOMI, UIN MALANG PRESS, Malang: 2008, h.125-134
[4]Hendi Suhendi, fiqh muamalah, rajawali pers, Jakarta,2010,h.78-83
[5] Adiwarman.Karim,FIKIH EKONOMI KEUANGAN ISLAM, DARUL HAQ,  Jakarta: 2004, h.95-117
[6]http://moeslemportal.blogspot.com/2012/07/asas-asas-transaksi-ekonomi-dalam-islam.html.08/04.11.33
[7]Ibid …..h.249
[8]http://al-atsariyyah.com/etika-dalam-berdagang.html.08/04.11.25
[9] Ibid ….h.621
[10] http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/2009/07/27/akad-jual-beli-dalam-islam/
[11] Muhammad, Hasbi As-Shiddieqy, KOLEKSI HADIS-HADIS HUKUM 7, PT. PetrayaMitrajaya, Semarang: 2001.h.14-16
[12]Ibid ….h.53-58
[13] Ibid …h.128-130
[14]Syafei, Rahmat. FIQIH MUAMALAH, Bandung: PustakaSetia, 2001.h. 97-98